Hanun termangu. Terpaku. Terdiam sejenak. Hanun
berusaha mendengarkan bisikan kata hatinya. Sisi yang satunya, hatinya berang.
Hanun ingin mengamuk. Hanun uring-uringan karena soal ini harus dikumpulkan
dalam hitungan 1x24 jam. Sementara ia tidak memiliki banyak waktu. Belum lagi
mendengar tangisan si cantik, Annisa. Annisa adalah buah cinta pertama Hanun
bersama Mas Alif. Annisa berusia 18 bulan. Masih dini baginya kehilangan
perhatian bunda yang acapkali tercurah kepada tugas-tugas sekolah. Apalagi Mas
Alif sudah dua minggu ini keluar kota karena tugas kantor. Hanun tidak tega
mendengar tangisan Annisa. Annisa pasti terbangun. Mungkin ngompol atau BAB atau kehausan. Hatinya kembali terusik, ia seorang
ibu yang terlalu sering mengabaikan anaknya. Hatinya yang berang tadi dirasuki
oleh setan. Hanun mengehela napas berat. Malas dan akhirnya ia beranjak ke
kamar menemui Annisa. Basah ternyata dia ngompol.
Mengganti dan meniduri Annisa. Beberapa saat berlalu, Annisa terlelap. Sisi
hatinya masih saja bengkak. Merah. Emosi masih saja merajainya. Hanun berusaha
mengutak-atik kembali. Namun nihil. Tidak bisa dibuka, begitu keterangan dari
si alat canggih itu.
Samar-samar di sisi lainnya, Hanun seolah mendengar
bisikan kebenaran. Hanun, solatlah dulu.
Begitu bisikan itu meminta Hanun menjalankan kewajiban yang seharusnya tidak
ditunda-tunda olehnya.
Sisi hati yang berang ikut-ikutan berbisik, Hanun, cari dulu, pasti ada. Waktu isya
masih lama. Bisikan yang akan menjerumuskan Hanun kejalan yang buruk.
Lembah hitam.
Bip. Bip. Bip. Bip… ponsel Hanun yang canggih
berbunyi. Ada pesan masuk. ‘lelaki idamanku’ itu nama yang terpampang dilayar
ponsel canggihku. Hanun menyambarnya. Hatinya yang berang merasa menang karena
Hanun mengulur waktu solat. Saat ini Hanun kalah.
“Jangan lupa solat, bidadariku. Sesungguhnya solat itu
akan membantu kamu dari kesulitan apapun. Selamat Malam.” Begitu isi pesan yang
dikirim Mas Alif.
Seketika ada rasa haru. Hanun bergegas. Berwudhu.
Solat. Berdoa. Hanun melipat dengan rapi mukena dan sajadah yang ia gunakan.
Sambil berjalan ke arah alat canggih yang membuatnya berang, Hanun tertegun.
Tiba-tiba ia terduduk. Terkulai lemas. Hatinya yang sedari tadi bergulat dan
dia membenarkan hati yang berang. Padahal hati yang satunya lagi, hati yang
sangat tenang, diabaikan oleh Hanun. Hanun meraba dadanyanya. Ada sesal terasa.
Sesal teramat dalam karena ia mengikuti kemarahan, keberangannya.
Hanun merunut kembali hari-hari pada saat dia
menenggelamkan dirinya pada tugas sekolah. Menyelesaikan soal ujian untuk
siswa-siswinya. Annisa, gadis cantik itu selalu menangis karena kehausan, karena
kegerahan, karena popoknya belum
diganti sesegera mungkin oleh Hanun, ibunya. Hanun mengabaikan anaknya karena
tugas sekolah. Padahal Hanun menyayanginya. Hanun tidak meluangkan waktu untuk
anaknya setelah pulang sekolah. Walaupun sebelumnya Hanun selalu mendahulukan
Annisa dibandingkan tugas-tugas lainnya.
Hanun juga tersentak ketika ia ternyata juga
mengabaikan panggilan adzan. Ia tidak menyegerakan solat demi menyelesaikan
soal-soal ujian itu. Hanun menunda-nunda waktu solatnya. Hanun menjauhkan diri
dari kewajiban yang harusnya didahuluinya, tetapi diabaikannya.
“Ini ujian-Nya”, bisik Hanun sambil tertunduk
menyesal.
“Ini semua rencana-Nya”, bisik Hanun lagi kepada
dirinya sendiri.
Hanun menyadari bahwa Allah mengujinya agar ia sadar
untuk tidak mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah yang baik dan sebagai ibu
yang soleha. Listrik padam dan dokumen lenyap. “Ini ujian-Nya,” sekali lagi
Hanun berbisik. Hanun mulai menegakkan kepalanya. Sadar bahwa Allah sayang
padanya dari ujian yang diberikannya.
Hanun mulai mengulang kembali soal-soal tersebut
hingga subuh datang. Empat puluh soal selesai dalam satu malam. Dan sebelumnya,
berhari-hari empat puluh soal itu tidak kunjung selesai. Kini ketika dia sadar.
Dia menjalankan kewajibannya dengan segera, Allah memberikan kekuatan dan
bantuan. Soal-soal selesai dan Hanun dapat mengumpulkannya tepat waktu. Di mana
kesadarannya selama ini. Ketika Annisa menangis, ia mengeluh. Ketika adzan
berkumandang, ia acuh. Soal-soal lenyap padahal waktunya sudah terbuang dengan
percuma. Allah menguji kesabaran dan kesadaran Hanun. Dan kini, Hanun sadar
bahwa ia telah khilaf. Hanun naik kelas dihadapan Allah karena ketika sadar, ia
melakukan yang terbaik untuk anaknya, untuk siswa-siswinya, dan untuk-Nya Sang
Maha Besar.
Pinta Afriyeni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar