Pinang atau dalam bahasa Latin di sebut
Areca Catechu L, sudah tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Pinang yang
berasal dari Malaka (Malaysia) telah masuk ke Indonesia pada masa sebelum
Masehi. Ada sumber yang mengatakan Pinang masuk pada abad ke 6 sebelum Masehi
namun ada pula sumber yang mengatakan pada abad ke 4 sebelum Masehi Pinang
sudah ada di Papua.
Pinang adalah jenis tanaman palma yang dalam bahasa Hindi
buah ini disebut supari, dan pan-supari untuk menyebut sirih-pinang. Bahasa
Malayalam menamakannya adakka atau adekka, sedang dalam bahasa Sri Lanka
dikenal sebagai puuuuikiuivak. Masyarakat Thai menamakannya mak, dan orang Cina
menyebutnya pin-lang. Pinang merupakan lambang keturunan orang yang baik budi pekerti,
jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia melakukan suatu pekerjaan dengan
hati terbuka dan bersungguh-sungguh. Makna ini ditarik dari sifat pohon pinang
yang tinggi lurus ke atas serta mempunyai buah yang lebat dalam setandan.
Pinang dalam kaitannya dengan budaya
indonesia adalah kebiasaan orang indonesia untuk "menginang". Dalam
menginang, campuran wajibnya adalah kapur, sirih dan gambir, adapula yang
memberinya dengan tambahan sedikit tembakau. Dengan racikan yang pas maka
menginang akan membuat bibir merah merekah. Selain membuat bibir merah, secara
medis menginang juga membuat gigi menjadi kuat, dan menimbulkan efek kecanduan
seperti halnya pada rokok.
Menginang di lakukan hanya dengan mencampurkan
racikan-racikan tadi, mengunyahnya dan "jrennnnggg!!!" keluarlah
warna bibir yang merah merekah. Bagi para lansia, terkadang sulit mengunyah
Pinang biasanya di tumbuk halus dulu dengan lesung sebelum di konsumsi. Hampir
sama dengan rokok dan cemilan, menginang pun biasa di lakukan kapan saja pagi
siang sore malam menginang adalah kenikmatan yang menimbulkan sensasi luar
biasa di lidah para pecintanya.
Budaya makan Pinang telah merasuk ke
Indonesia di berbagai wilayah dari Sumatra, Jawa, Kalimantan hingga Papua. Namun
karena efek yang di timbulkan setelah makan Pinang berupa air liur yang
terlihat merah dan jorok di tambah lagi dengan kehadiran rokok dan cemilan,
maka budaya makan Pinang ini kian lama kian terkikis. Dan parahnya lagi di
Papua sekarang sedang marak papan-papan pengumuman yang melarang orang untuk
menginang di tempat umum dengan alasan jorok tadi dengan tulisan "dilarang
makan Pinang" maka semakin tersingkir lah budaya ini terkikis zaman. bahkan
di bandara pun kita akan melihat larangan menginang tsb. Apa yang salah dengan
Pinang, kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dulu sebelum rokok tenar. Namun
kenapa orang lebih menyingkirkan pinang yang baik untuk kesehatan dari pada
rokok yang jelas-jelas membahayakan kesehatan. kenapa orang-orang bisa
menyediakan smoking area namun tidak menyisakan area untuk menginang. Larangan
menginang di papua ini membuat orang-orang yang suka menginang harus tersingkir
ke pedalaman. Stigma jelek terhadap menginang yang menganggap menginang adalah
kebiasaan buruk, budaya terbelakang, dan tidak modern membuat pertentangan
banyak pihak di papua.
Menginang sama halnya dengan kita mengkonsumsi
rokok, kopi atau teh, menimbulkan efek yang luar biasa bagi penikmatnya, tidak
heran di Papua anak-anak usia 5 tahun pun sudah bisa menginang. meskipun untuk
di wilayah-wilayah Indonesia lain seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, menginang
biasanya hanya di lakukan oleh orang-orang lansia. Selain efek kenikmatan tsb,
menginang juga punya banyak fungsi lain di dalam budaya kita. Zaman dahulu, menginang bisa di gunakan sebagai penghormatan terhadap seseorang, sehingga
apabila bertamu dan di suguhi bahan-bahan menginang maka haruslah di makan.
Menginang juga bisa di gunakan sebagai mas kawin, ada pula yang hanya sekedar
sebagai pengantar bicara, sebagai pengikat hubungan sebelum menikah
(bertunangan) ataupun sebagai obat-obatan tradisional. tidak heran, orang
Indonesia zaman dulu sangat menyukai Pinang dan menganggap Pinang sesuatu yang
sangat istimewa.
Pinang tidak akan bisa di gunakan untuk
menginang apabila tidak di tambah dengan kapur, sirih dan Gambir..kenapa
demikian, mari kita simak, bagaimana sih filosofi menginang itu sebenarnya.
-Sirih
adalah tanaman tropis,
tumbuh di Madagaskar, Timur Afrika, dan Hindia Barat. Sirih yang terdapat di
Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih Melayu, sirih Cina, sirih
Keling, dan sirih Udang. Dalam bahasa Indonesia, dikenal berbagai nama jenis
sirih seperti sirih Carang, Be, Bed, Siyeh, Sih, Camai, Kerekap, Serasa, Cabe,
Jambi, Kengyek, dan Kerak.
Sirih, konon melambangkan sifat rendah hati,
memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain. Makna ini ditafsirkan dari
cara tumbuh sirih yang memanjat pada para-para, batang pohon sakat atau batang
pohon api-api tanpa merusakkan batang atau apapun tempat ia hidup. Dalam
istilah biologi disebut simbiosis komensalisme. Daun sirih yang lebat dan
rimbun memberi keteduhan di sekitarnya.
-Kapur
Diperoleh dari hasil
pemrosesan cangkang kerang atau pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya
putih bersih, tetapi reaksi kimianya bisa menghancurkan. Kapur melambangkan
hati yang putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa, ia akan
berubah menjadi lebih agresif dan marah.
-Gambir
Gambir juga adalah tumbuhan
yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk dalam keluarga Rubiaceae. Daunnya
berbentuk bujur telur atau lonjong, dan permukaannya licin. Bunga gambir
berwarna kelabu. Gambir juga dimanfaatkan sebagai obat, antara lain untuk
mencuci luka bakar dan kudis, mencegah penyakit diare dan disentri, serta
sebagai pelembap dan menyembuhkan luka di kerongkongan. Gambir memiliki rasa
sedikit pahit, melambangkan keteguhan hati. Makna ini diperoleh dari warna daun
gambir yang kekuning-kuningan serta memerlukan suatu pemrosesan tertentu untuk
memperoleh sarinya, sebelum bisa dimakan. Dimaknai bahwa jika mencita-citakan
sesuatu, kita harus sabar melakukan proses untuk mencapainya.
Dengan memakan serangkai pinang
sirih dan kapur ini, merupakan simbol dari harapan untuk menjadi manusia yang
selalu rendah hati dan meneduhkan layaknya sirih. Hati bersih, tulus tapi
agresif seperti kapur. Jujur, lurus hati dan bersungguh-sungguh layaknya pohon
pinang. Dan jika ditambah gambir berarti sabar dan hati yang teguh bak sang
gambir. kesemuanya harus di racik menjadi satu kesatuan yang pas,harus benar
benar di campur dengan tepat untuk menghasilkan citarasa yang enak.
Untuk melestarikan budaya makan
pinang dan melawan aturan larangan makan pinang di papua maka beberapa pelaku
seni tradisi serta masyarakat kampung di Papua Barat mencoba mengulang kembali
teknik lukis masa lalu tersebut dengan berkarya menggunakan ludah pinang.
Karya-karya ini dituangkan pada tembok, kulit kayu, kain, kertas, dan balok
kayu. Seorang seniman patung asal Papua Barat, Yesaya Mayor dari Sanggar Seni
Budaya Koranu Fyak, Raja Ampat, juga telah mencoba menggunakan ludah pinang
untuk berbagai bentuk motif di atas kulit kayu, kertas, dan daun lontar. Lanjar
Jiwo, seorang perupa dari Sorong, bersama-sama dengan masyarakat suku Maybrat
di pegunungan Tamrau telah menorehkan ludah pinang sebagai pewarna alami pada
patung-patung Karwar buatannya. Sedangkan masyarakat kampung Waifoi dan
Warimak, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat mencoba meludah pinang
di atas kertas dan kain.
Berbeda dengan pemuda papua
yang sedang berjuang mempertahankan budaya menginang, Di Kalimantan dan sumatra
justru kebiasaan menginang ini sudah sangat sulit di temukan, terkikis oleh kedatangan
berbagai jenis rokok, kopi dan cemilan-cemilan lain. Sebagai salah satu pemuda Indonesia, meskipun
kita tidak menginang, mari kita jaga agar menginang bisa menjadi cagar budaya
para nenek moyang kita yang bisa kita lestarikan dan di jaga, tidak harus di
jauhi dan dimusuhi. Kita bisa banyak belajar dari filosofi menginang, karena
itu kebudayaan harus tetap di lestarikan walaupun menurut kita zaman nya sudah
tidak lagi sesuai di mata anak seusia kita, namun budaya adalah warisan leluhur
yang sudah di titipkan pada kita sehingga harus tetap di jaga. Jauhkan stigma
jelek terhadap menginang seperti halnya di Papua yang menganggap menginang itu
jorok, tidak modern dan terbelakang. Seperti merokok yang di sediakan smoking
area, maka menginang pun bisa di sediakan tuang khusus juga kan.
Mari kita
pertahankan budaya ini, mari Bung rebut kembali...
Sumber :
-riauheritage.org
-avinaninasia.wordpress.com/2011
-xa.yimg.com/kq/groups
- http://www.sungaikuantan.com/2010
penulis : ruli retno mawarni | @ruliruby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar