TRADISI MEMBANGUNKAN SAHUR

Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk muslim. Menyambut bulan ramadhan, tradisi membangunkan orang untuk sahur saat bulan puasa memang udah turun-temurun. para tetua secara turun temurun mengajarkan budaya betapa besarnya pahala membangunkan orang sahur. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan budaya memiliki kebiasaan sendiri yang menjadi budaya untuk membangunkan sahur warga setempat. Warga Kendal menyebut ini dengan Ngangklang, Cirebon menyebutnya dengan Obrok-burok, Tektekan di Jawa Timur dan di Semarang disebut dengan Dekdukan. Tidak hanya di pulau Jawa, di luar Jawa juga terdapat tradisi seperti ini, di daerah Gorontalo misalnya terdapat tradisi serupa yang disebut Tumbilotohe. berbagai nama yang di gunakan untuk menyebut tradisi ini beberapa akan kita bahas lebih detil di bawah ini ya ukhti....

Morowali, Sulawesi Tengah
Masyarakat Kota Bungku, Ibu Kota Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, memiliki tradisi yang mereka sebut dengo-dengo yang berfungsi membangunkan umat Islam yang akan melaksanakan ibadah puasa untuk melaksanakan Sahur dan salat subuh.Dengo-dengo merupakan sebuah bangunan yang menjulang setinggi hampir 15 meter, terbuat dari batang bambu sebagai tiang penyangga menggunakan lantai papan dengan ukuran 3×3 meter persegi dan beratap daun sagu, didirikan dengan cara gotong royong oleh waga menjelang 1 Ramadhan.


Pantura, Jawa Tengah
Di sini, tradisi Ngangklang berlangsung sepanjang Ramadhan, anak-anak dan para pemuda biasanya tidur di surau kamudian bangun saat dinihari, berkeliling kampung sambil membunyikan perkusi dari bambu, panci, ember,dan sebagainya dengan irama ritmik yang enak didengar. Saat menjelang imsak mereka baru pulang untuk makan sahur. Setelah itu baru mereka ke masjid untuk shalat subuh kemudian pulang ke rumah masing-masing.


Masyarakat Betawi, DKI Jakarta
Di DKI Jakarta, tiap wilayah menyebut tradisi ini dengan nama yang berbeda. Untuk masyarakat Betawi Joglo, Palmerah, Rawabelong, Condet, Buncit hingga ke daerah Tangerang menyebutnya Ngarak Beduk. Sedangkan warga betawi yang bermukim di daerah timur Jakarta, seperti Bekasi sering menyebutnya Beduk Saur.
Tradisi Ngarak Beduk atau Beduk Saur telah dilakukan ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat Betawi. Sejarawan Betawi, R Munakib menuturkan, tradisi Ngarak Beduk atau Beduk Saur telah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Konon, sejak kota Jakarta banyak dijumpai hutan. Tapi saat itu orang-orang Betawi masih menggunakan suara beduk dan kumandang adzan dalam membangunkan sahur, begitu juga menandakan waktu Imsak.
Kemudian, saat budaya masyarakat Betawi terpengaruh budaya China, tradisi membangunkan sahur dilakukan dengan menggunakan petasan. Suaranya yang nyaring dan membuat kaget orang, menjadi alasan mengapa petasan digunakan untuk membangunkan sahur. Seiring dengan berjalannya waktu, yakni memasuki abad ke 19, tradisi untuk membangunkan sahur mulai menggunakan peralatan yang lebih modern dan tidak lagi menggunakan petasan. Mereka menggunakan alat musik tradisional, seperti kentungan, rebana dan genjring yang dipadukan dengan suara beduk. Suara dari alat musik ini diperindah dengan pembacaan puisi atau lagu-lagu Betawi.

Biasanya dalam tradisi ini jumlah pesertanya mencapai puluhan orang. Diantara mereka mendapatkan tugas masing-masing. Dua orang yang mengarak beduk yang dibawa menggunakan gerobak, satu orang menarik gerobak dan satunya memukul beduk. Ada yang kebagian membawa kentongan bambu, membawa rabana hingga membawa genjring. Sebagian yang lain berteriak membangunkan orang dan bernyanyi lagu Betawi.Tak jarang pada masa itu, kesenian Ondel-ondel juga terlibat didalamnya.
Pada masa sekarang ini, saat jakarta telah banyak di isi kaum pendatang, banyak komplek perumahan yang tidak mengizinkan suara agak gaduh di dini hari, kebiasaan ini sudah mulai agak berkurang.

Bagarakan sahur - Kalimantan selatan
“Bagarakan sahur” yang berarti membangunkan orang untuk bersaur, merupakan aktivitas sekelompok pemuda Kalimantan Selatan yang bangun di tengah malam selama bulan puasa dengan tujuan yang tentunya membangunkan kaum muslim untuk makan sahur.
Pada era tahun 60-an hingga era tahun 70-an bagarakan sahur menjadi hiburan rakyat yang populer setiap Ramadhan. Saat itu, tak hanya besi tua yang menjadi alat yang dipukul tetapi ditambah dengan suara seruling, gendang, dan gong. Suara dentingan besi tua diselengi dengan suara seruling, gendang, dan gong menghasilkan irama yang enak didengar. Akibatnya, warga selain mudah terbangun oleh suara bising besi tua juga merasa terhibur oleh suara suling dengan irama khas lagu-lagu Banjar. seiring waktu berjalan, tradisi ini masih bertahan di beberapa wilayah walaupun tidak lagi menggunakan alat-alat tradisional.

Masih banyak lagi budaya membangunkan sahur masyarakat indonesia, namun pada zaman rasulullah sendiri budaya membangunkan sahur pada masa itu adalah dengan beradzan. Rasulullah mengizinkan untuk melakukan 2 adzan ketika dini hari bulan Ramadhan. Yang pertama adalah untuk membangunkan orang untuk saur dan yang kedua adalah adzan untuk menandakan waktu solat subuh Dimana waktu sahur telah berakhir. Budaya membangunkan sahur di berbagai daerah kini telah banyak berganti dengan alat-alat yang lebih modern, yakni menggunakan galon minuman, gendang, bahkan sound system dengan pengeras suara yang lebih canggih. Ada pula yang menggunakan cara lebih halus dengan mengetok pintu tiap-tiap rumah penduduk atau sekedar panggilan "sahurrrrr..." dari pengeras suara mesjid dengan lembut.

     Bagaimanapun media yang di gunakan, budaya ini di harapkan tidak kehilangan maknanya yakni untuk membangunkan sahur, bukan untuk membuat kegaduhan sehingga tidak merugikan orang-orang yang butuh istirahat seperti orang sakit atau bayi yang sedang tidur lelap.

* http://www.beritajakarta.com/V_Ind/berita_print.asp?nNewsId=34999
* www.percetakanpetraya.com
* hasanzainuddin.wordpress.com
* id.shvoong.com
* kabartop.com

Ruli Retno Mawarni

1 komentar:

  1. Paling asik memang kalau ikutan tradisi membangunkan sahur...
    walaupun sudah ada alarm pada gadget dan smartphone, tapi kalau yang namanya tradisi tetap saja memberi nuansa tersendiri. Selamat Datang Ramadahan. Salam Galerigadget

    BalasHapus