Morowali,
Sulawesi Tengah
Masyarakat Kota Bungku, Ibu Kota Kabupaten Morowali,
Sulawesi Tengah, memiliki tradisi yang mereka sebut dengo-dengo yang berfungsi
membangunkan umat Islam yang akan melaksanakan ibadah puasa untuk melaksanakan
Sahur dan salat subuh.Dengo-dengo merupakan sebuah bangunan yang menjulang
setinggi hampir 15 meter, terbuat dari batang bambu sebagai tiang penyangga
menggunakan lantai papan dengan ukuran 3×3 meter persegi dan beratap daun sagu,
didirikan dengan cara gotong royong oleh waga menjelang 1 Ramadhan.
Pantura, Jawa
Tengah
Di sini, tradisi Ngangklang berlangsung sepanjang
Ramadhan, anak-anak dan para pemuda biasanya tidur di surau kamudian bangun
saat dinihari, berkeliling kampung sambil membunyikan perkusi dari bambu,
panci, ember,dan sebagainya dengan irama ritmik yang enak didengar. Saat
menjelang imsak mereka baru pulang untuk makan sahur. Setelah itu baru mereka
ke masjid untuk shalat subuh kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Masyarakat
Betawi, DKI Jakarta
Di DKI Jakarta, tiap wilayah menyebut tradisi ini
dengan nama yang berbeda. Untuk masyarakat Betawi Joglo, Palmerah, Rawabelong,
Condet, Buncit hingga ke daerah Tangerang menyebutnya Ngarak Beduk. Sedangkan
warga betawi yang bermukim di daerah timur Jakarta, seperti Bekasi sering
menyebutnya Beduk Saur.
Tradisi Ngarak Beduk atau Beduk Saur telah dilakukan
ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat Betawi. Sejarawan Betawi, R Munakib
menuturkan, tradisi Ngarak Beduk atau Beduk Saur telah dilakukan sejak ratusan
tahun silam. Konon, sejak kota Jakarta banyak dijumpai hutan. Tapi saat itu
orang-orang Betawi masih menggunakan suara beduk dan kumandang adzan dalam
membangunkan sahur, begitu juga menandakan waktu Imsak.
Kemudian, saat budaya masyarakat Betawi terpengaruh
budaya China, tradisi membangunkan sahur dilakukan dengan menggunakan petasan.
Suaranya yang nyaring dan membuat kaget orang, menjadi alasan mengapa petasan
digunakan untuk membangunkan sahur. Seiring dengan berjalannya waktu, yakni
memasuki abad ke 19, tradisi untuk membangunkan sahur mulai menggunakan
peralatan yang lebih modern dan tidak lagi menggunakan petasan. Mereka
menggunakan alat musik tradisional, seperti kentungan, rebana dan genjring yang
dipadukan dengan suara beduk. Suara dari alat musik ini diperindah dengan
pembacaan puisi atau lagu-lagu Betawi.
Biasanya dalam tradisi ini jumlah pesertanya mencapai
puluhan orang. Diantara mereka mendapatkan tugas masing-masing. Dua orang yang
mengarak beduk yang dibawa menggunakan gerobak, satu orang menarik gerobak dan
satunya memukul beduk. Ada yang kebagian membawa kentongan bambu, membawa
rabana hingga membawa genjring. Sebagian yang lain berteriak membangunkan orang
dan bernyanyi lagu Betawi.Tak jarang pada masa itu, kesenian Ondel-ondel juga
terlibat didalamnya.
Pada masa sekarang ini, saat jakarta telah banyak di
isi kaum pendatang, banyak komplek perumahan yang tidak mengizinkan suara agak
gaduh di dini hari, kebiasaan ini sudah mulai agak berkurang.
Bagarakan sahur
- Kalimantan selatan
“Bagarakan sahur” yang berarti membangunkan orang
untuk bersaur, merupakan aktivitas sekelompok pemuda Kalimantan Selatan yang
bangun di tengah malam selama bulan puasa dengan tujuan yang tentunya
membangunkan kaum muslim untuk makan sahur.
Pada era tahun 60-an hingga era tahun 70-an bagarakan
sahur menjadi hiburan rakyat yang populer setiap Ramadhan. Saat itu, tak hanya
besi tua yang menjadi alat yang dipukul tetapi ditambah dengan suara seruling,
gendang, dan gong. Suara dentingan besi tua diselengi dengan suara seruling,
gendang, dan gong menghasilkan irama yang enak didengar. Akibatnya, warga
selain mudah terbangun oleh suara bising besi tua juga merasa terhibur oleh
suara suling dengan irama khas lagu-lagu Banjar. seiring waktu berjalan, tradisi
ini masih bertahan di beberapa wilayah walaupun tidak lagi menggunakan
alat-alat tradisional.
Masih banyak lagi budaya membangunkan sahur masyarakat
indonesia, namun pada zaman rasulullah sendiri budaya membangunkan sahur pada
masa itu adalah dengan beradzan. Rasulullah mengizinkan untuk melakukan 2 adzan
ketika dini hari bulan Ramadhan. Yang pertama adalah untuk membangunkan orang
untuk saur dan yang kedua adalah adzan untuk menandakan waktu solat subuh Dimana
waktu sahur telah berakhir. Budaya membangunkan sahur di berbagai daerah kini
telah banyak berganti dengan alat-alat yang lebih modern, yakni menggunakan
galon minuman, gendang, bahkan sound system dengan pengeras suara yang lebih
canggih. Ada pula yang menggunakan cara lebih halus dengan mengetok pintu
tiap-tiap rumah penduduk atau sekedar panggilan "sahurrrrr..." dari pengeras
suara mesjid dengan lembut.
Bagaimanapun
media yang di gunakan, budaya ini di harapkan tidak kehilangan maknanya yakni
untuk membangunkan sahur, bukan untuk membuat kegaduhan sehingga tidak
merugikan orang-orang yang butuh istirahat seperti orang sakit atau bayi yang
sedang tidur lelap.
* http://www.beritajakarta.com/V_Ind/berita_print.asp?nNewsId=34999
* www.percetakanpetraya.com
* hasanzainuddin.wordpress.com
* id.shvoong.com
* kabartop.com
Ruli Retno Mawarni
Paling asik memang kalau ikutan tradisi membangunkan sahur...
BalasHapuswalaupun sudah ada alarm pada gadget dan smartphone, tapi kalau yang namanya tradisi tetap saja memberi nuansa tersendiri. Selamat Datang Ramadahan. Salam Galerigadget